Mobile Edition

Senin, 26 Januari 2009

Teras rumah kos itu

Bagi orang yang baru belajar gitar, siapapun pasti akan jadi tempat belajar. Tukang ronda (yang datang kesorean), anak kos sebelah rumah (yang lagi "melolong" ketika listrik padam), preman di pertigaan gang (yang sok musikal), adalah orang-orang yang harus didekati.

Tapi, dari sekian profil orang-orang itu, ada satu yang masih lekat di ingatan saya. Dia adalah seorang mahasiswa yang kos dekat rumah saya.

Waktu itu, dia adalah mahasiswa tingkat akhir Jurusan Seni Rupa FPBS IKIP Padang (sekarang UNP). Rumah kosnya tidak jauh dari rumah saya. Hampir setiap sore saya lewat depan kosannya. Sepulang mengaji saya lihat dia main gitar dengan sesama teman sekosannya. Main lagu apa saja, dengan gaya apa saja, tapi tetap membuat saya harus melirik ke teras rumah kosnya.
Akhirnya saya kenal Uda ini, namanya Uda Wi. Nama lengkapnya adalah... sayangnya saya gak tau. Salah seorang teman saya memanggilnya Uda Bulu. Ya, tangannya penuh rambut. Kalau dia lagi nongkrong di teras rumahnya telanjang dada keliatan jelas kalau bulu-bulu lebih dominan dari pada kulitnya (haha.. ya nggak lah).
Saatnya saya diajak mampir ke kosannya, ini kesempatan bagus saya pikir. Saya mau tau trik baru di permainan gitarnya. Masih dengan baju putih, celana panjang, dan peci di kepala, saya mampir di kosannya main gitar. Gak mecing emang. Bahkan guru ngaji saja yang kebetulan pulang ngajar juga geleng2 kepala melihat ulah saya itu. Cuek ah.. hahaha.

Dari Uda Wi saya tau bahwa gitar itu bisa dimainkan dengan begitu luasnya. Ya, luas, gak mesti ngikutin cara main gitar yang lazim. Kalau main di C basnya gak mesti di C, di E juga boleh, di G juga gapapa, asal tau kapan itu harus dipake. Trus, mesti berani make akor2 aneh, seperti akor 7, misalnya Fm7, G7, dan 77 lainnya...(es teler tidak termasuk nih).
Sebenarnya yang dia ajarkan cuma satu, yaitu tentang penggunaan si nada rendah itu. Tapi pencerahan itu luar biasa buat saya waktu itu. Btw, dia basist di kampusnya, begitu akunya. Saya sendiri belum pernah lihat dia perform ngeband.

Lagu-lagu yang di-show-off ke saya, ada Bara Timur-nya God Bless, Syair Kehidupan-nya Ahmad Albar, Air Mata Api-nya Iwan Fals, apa lagi ya? Lagu-lagu yang lagi ngetop di tivi juga ada. Lagu-lagu itu jadi asyik kalau dia yang mainkan. Dia cukup lihai dengan pergerakan bas. Kadang beberapa lagu, di tangan dia, lebih dominan basnya dari pada ritemnya. Oya, dia juga ajarkan gimana cara memaikan lagu Ambulance Zig Zag-nya Iwan Fals. Seru, tapi saya lupa lagi gimana cara memainkannnya.

Dari perkenalan itulah saya mulai berkreasi dengan lancangnya. Lagu-lagu yang tadinya memang sudah bagus saya bikin jadi "lebih bagus lagi". Yah, walaupun di tangan saya hasil akhirnya adalah ancur minah.

Setamat SMA, saya harus ke Bandung, menjawab tugas orang tua yang harus menyekolahkan anaknya ini setinggi-tingginya. Selesai sudah perkenalan dengan Uda Wi. Di Bandung, main gitar pensiun dulu, mulai bergelut dengan buku rencananya, tapi nyasar2 ke musik juga: talempong. (trus belajarnya kapan?)

Ketika libur lebaran, saya pulang ke Padang. Napak tilas deh, pagi joging di lapangan FPOK, siang sore telepon-telepon teman atau ngobrol-ngobrol aja di rumah. Sore ke masjid, pulang dari mesjid mampir ke kosan Uda Wi. Pingin tau trik2 baru lagi. Tapi... Uda Wi gak ada. Sayang sekali, dia sudah lulus dari kuliahnya, dan mengabdi jadi guru di kampung halamannya, Batusangka, di luar kota Padang.

Dulu saya belum sempat minta alamatnya, apalagi nomor HP atau email (mana ada jaman itu). Harus saya cari dimana dia.
Sekarang tidak ada lagi suara gitar di situ. Tidak ada lagi senyum lebarnya. Yang ada hanya kenangan saya di teras rumah kos itu.


Tidak ada komentar: